Filsafat Sejarah terbagi menjadi dua, yakni filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah analitik. Untuk yang pertama dikenal sebagai filsafat sejarah spekulatif, yang memiliki dasar peranyaan tentang: “awal, akhir, dan yang menggerakkan sejarah?”. Selanjutnya yang kedua mendasarkan pertanyaan kepada: “apakah sejarah itu, dan untuk apa sejarah itu?”. Artinya, mempersoalkan sejarah sebagai suatu disiplin ilmu, didalamnya terdapat metodologi, metode sejarah, dan nilai-nilai keilmiahan lainnya.
Memperhatikan hal demikian, filsafat sejarah, baik itu spekulatif maupun analitik, harus ditempatkan sebagaimana mestinya. Setidaknya ada tiga hal penting menyangkut hal ini, yaitu filsafat sejarah dapat digunakan untuk menjelaskan mengenai sesuatu yang sangat mendasar dari segi sejarah atau dengan kata lain mencoba dari segi intelektual menjawab pertanyaan: “apakah makna hidup ini?”.
Kedua, menegaskan keterkaitan antara masa sekarang dengan masa lalu, segi kontinuitas ini adalah usaha mempertahankan identitas manusia. Terakhir, ketiga, dalam gejolak atau ketidakpastian, filsafat sejarah menjadi pegangan sebagai sebuah kunci keyakinan. Ini semua merupakan kolaborasi antara filsafat sejarah spekulatif yang cenderung menduga-duga, dan analitik yang ilmiah.
Filsafat sejarah analitis dapat dibedakan dengan filsafat sejarah, namun kedua-duanya berjalan secara beriringan, dan saling mempengaruhi. Dengan demikian, Filsafat sejarah nasional Indonesia merupakan satu kesatuan kedua filsafat tersebut. Sehingga, historiografi sejarah maupun ilmuan sejarah (sejarawan) merupakan produk yang mampu menjadi gagasan keinsafan, sebuah kesadaran sejarah. Sebagai buku, gagasannya menjadi acuan inspirasi bagi yang membacanya, selaku pendidik/guru, sejarawan sebagai percontohan hidup, sekaligus inspirator kepada anak didiknya, yang kesemuanya itu menciptakan mentalitas manusia Indonesia yang luhur.
Kesadaran sejarah ini, adalah sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat membawa untuk tetap dalam rotasi sejarah. Artinya, dengan adanya kesadaran sejarah, manusis Indonesia seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam memaknai kehidupan ini. Dalam realitas yang nyata, pada proses pembelajaran sejarah di SMA, guru dan siswa tidak hanya: “bagaimana belajar sejarah”, “melainkan bagaimana belajar dari sejarah”.
Prinsip pertama, akan membawa anak didik pada setumpuk kisah dan data-data tentang peristiwa sejarah yang telah terjadi di masa lampau yang syarat romantika.
Prinsip kedua akan mengisi jiwa anak didik dengan sikap yang lebih arif dan bijaksana, sebagai hasil bentukan terinti dari kesadaran sejarah. Sikap arif bijaksana tersebut sesuai dengan pesan Surat Yusuf ayat 111 ”... diantara kisah-kisah yang aku sampaikan, terdapat IBROH (pembelajaran) bagi manusia yang mau menggunakan akal-nya..”
Dahri - Salam Historia
14 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar