28 Desember 2009

Republika Online - Tradisi "Buka Luwur" di Makam Sunan Kudus

Tradisi buka luwur yang diselenggarakan setiap 10 Muharam 1431 Hijriyah atau pada Minggu (27/12), merupakan ritual keagamaan untuk menandai penggantian kelambu di Makam Sunan Kudus.
lihat di
Republika Online - Tradisi "Buka Luwur" di Makam Sunan Kudus

Republika Online - Uang ORI vs Uang NICA

Uang ini semula akan dikeluarkan pada Januari 1946. Namun, karena terjadi pertempuran dahsyat di Surabaya (10 November 1945), diputuskan Jakarta sebagai tempat percetakan ORI.

Nilai uang yang disiapkan untuk dicetak saat itu adalah 100 rupiah, 10 rupiah, setengah rupiah, 10 sen, lima sen, dan satu sen. Tapi, menjelang akhir tahun 1945, Kota Jakarta sudah semakin tidak aman--dengan munculnya pasukan Belanda (NICA)

...lihat di

Republika Online - Uang ORI vs Uang NICA

27 Desember 2009

PENGAKUAN KEDAULATAN INDONESIA / RIS 27 DESEMBER 1949 OLEH BELANDA

sumber : http://goenaar.blogspot.com/2009/02/pengakuan-kedaulatan-indonesia-ris-27.html



Sebagai pelaksanaan Persetujuan Konferensi Meja Bundar yang ditandatangani di Den Haag, Belanda pada tanggal 2 November 1949, wakil tertinggi mahkota Belanda (dulunya disebut Gubernur Jendral) AHJ. Lovink menyerahkan tanggungjawab pemerintahan kepada Republik Indonesia Serikat yang diwakili oleh Menteri Pertahanan Sri Soeltan Hamengkoeboewono IX. Usia kemerdekan yang baru empat tahun dan pemerintahan yang masih balita ternyata tidak menyebabkan kita kalah dalam diplomasi melawan Belanda sebaliknya hasil diplomasi beberapa bulan oleh para pemimpin pemerintahan Indonesia dibawah pimpinan Wapres Drs. Moehammad hatta tersebut benar-benar luar biasa sehingga berhasil membuat Republik Indonesia diakui kedaulatannya (versi Indonesia, versi Belanda adalah penyerahan Kedaulatan) walau dengan nama Republik Indonesia serikat / RIS.


Republik Indonesia Serikat (RIS) merupakan suatu kesepakatan antara RI dan negara-negara bagian yang didirikan di daerah pendudukan Belanda. Kebijakan yang dirumuskan pimpinan RI ( Bung Karno dan Bung Hatta ) ketika berada dalam tahanan Belanda di Pulau Bangka setelah ibukota perjuangan RI, Yogyakarta, diduduki oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1949 dengan sebutan "Trase Baru" ingin merangkul para wakil "Negara-Negara Federal" itu dalam suatu front bersama menghadapi Belanda di Meja perundingan. Hasilnya adalah kesepakatan mendirikan RIS, karena Belanda hanya bersedia mengakui kedaulatan dan menyerahkan tanggungjawab pemerintahan kepada RIS.

Namun, pihak RI berhasil mendudukkan Ir. Soekarno sebgai Presiden RIS dan Drs. Moehammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Kemenangan strategis yang berhasil dicapai dalam Konferensi Meja Bundar ( KMB ) ini adalah keputusan bahwa inti angkatan perang RIS adalah TNI. Dan tentara Belanda di Indonesia yang dikenal dengan nama KNIL dibubarkan dalam waktu enam bulan. Konsesi yang terpaksa diberikan pihak Indonesia adalah beberapa ikatan di bidang ekonomi/finansial dan pihak Belanda masih menguasai " Residensi" Irian Barat yang dinyatakan sebagai masalah sengketa. namun, dispakati bahwa masalah itu akan diselesaikan melalui perundingan dalam masa waktu satu tahun (kemudian ternyata, sengketa Irian Barat baru dapat diselesaikan setelah 12 tahun KMB berlalu).


Namun, segi-segi tidak begitu menguntungkan dari persetujuan KMB itu seperti tidak merupakan beban pada tanggal 27 Desember 1949. Yang penting, Belanda menyerahkan tanggungjawab pemerintahan kepada pihak Indonesia yang diwakili oleh tokoh populer pada waktu itu, yaitu Bung Soeltan Hamengkoeboewono IX.
Ia mengenakan seragam militer TNI dengan pangkat kehormatan Letnan Jendral. rakyat jakarta selama bertahun-tahun dibawah pemerintahan Belanda jarang melihat tokoh-tokoh TNI dalam seragam militer.
Pada hari itu mereka ikut bangga menyaksikan para perwira TNI ikut tampil seperti Letnan Kolonel Daan Yahya ( Gubernur Militer Jakarta Raya ) dan Kolonel Tahi Bonar Simatupang ( Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang RIS ).

Yang paling membanggakan bagi rakyat Jakarta adalah kehadiran Pasukan Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi di depan Istana Merdeka dalam upacara penurunan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) dan dikibarkannya Sang Saka Merah Putih. Batalyon Kala Hitam dipimpin oleh Mayor Kemal Idris, tetapi kesatuan yang ikut upacara di samping pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Poniman (kemudian pernah menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan).




Pada saat yang bersamaan, tanggal 27 Desember 1949 itu, di istana Dam di Amsterdam, Belanda diselenggarakan serah terima (pihak Indonesia menyebutnya Pengakuan Kedaulatan) kedaulatan atas wilayah Indonesia, dulunya Hindia Belanda. Upacara khidmat itu dihadiri oleh oleh Ratu Belanda, Juliana dan RIS diwakili sebuah delegasi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Moehammad Hatta.


Ia bertahun-tahun bermukim di negara Belanda sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Rotterdam. Ia pernah ditahan dan dibawa ke pengadilan karena dituduh sebagai aktivis Organisasi Perhimpunan Indonesia ( PI ) yang telah menimbulkan keonaran. Sudah pasti upacara 27 Desember 1949 itu merupakan pengalaman bahagia dan unik bagi Bung Hatta. Namun ketika seorang wartawan Belanda selesai upacara tersebut bertanya, bagaimana perasaannya, Bung Hatta menjawab, "Ah, biasa saja". Sungguh sebuah ungkapan merendah dari diplomat ulung yang juga merupakan salah satu Proklamator kemerdekaan RI tersebut. Padahal dari peristiwa ini Indonesia kemudian diakui sebagai sebuah negara yang berdaulat sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah merdeka. Ia sudah bahagia dan tanpa pamrih memberikan sumbangsih tenaga dan pikiran bagi bangsa dan negaranya.


Menarik sekali pandangan kesejarahan Kolonel Tahi Bonar Simatupang yang hadir dalam upacara di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1949 seperti dituliskannya dalam bukunya "Laporan Dari Banaran". Ia menulis " Syahdan pada tahun 1629 maka tibalah di tepi Kali Ciliwung balatentara Kerajaan Mataram yang telah memperoleh perintah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo untuk mengusir penjajah Belanda dari Batavia, yakni kota yang didirikan Belanda pada tahun 1619 di tempat yang sebelumnya bernama Jayakarta. Daerah sekitar Kali Ciliwung itu dijadikan pangkalan oleh balatentaraMataram tadi untuk meancarkan serangan atas Batavia. Oleh sebab itulah daerah tersebut sampai sekarang masih terkenal dengan nama Mataraman ( Matraman ). Balatentara Sultan Agung tidak berhasil mengusir Belanda dari Batavia dan dari Batavia inilah Belanda meluaskan daerah kekuasaannya sehingga pada akhirnya seluruh tanah air Indonesia meringkuk dibawah penjajahan Belanda. Syahdan tigaratus dua puluh tahun kemudian, yakni pada tanggal 27 Desember 1949 sore, maka berangkatlah sebuah delegasi dari Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56 Jakarta ( sekarang Jalan Proklamasi ) yang terletak di daerah Mataraman, ke "Paleis Rijswijk" untuk menghadiri upacara peresmian berakhirnya kekuasaan Belanda atas Indonesia. Sejak pengakuan kedaulatan, maka makna "Paleis Rijswijk" digantilah menjadi "Istana Merdeka". Kebetulan delegasi yang menghadiri upacara peresmian berakhirnya kekuasaan belanda atas Indonesia itu berada di bawah pimpinan Sri Soeltan Hamengkoeboewono IX dari Mataram, keturunan dari Sultan Agung Hanyokrokusumo"

11 Desember 2009

Studi Wisata Sejarah MGMP Sejarah DKI Jakarta

MGMP Sejarah DKI jakarta insya allah akan mengadakan kegiatan Studi Wisata dan Studi Banding ke Jawa Tengah dan Yogyakarta

Kegiatan akan dilaksanakan pada awalnya pada tanggal 20 - 24 Des 2009. Tetapi karena alasan teknis, terutama karena masa pengisian raport dan natal, dan karena lain hal, maka pelaksanaannya digeser ke tanggal 7 - 10 Januari 2010

Mengingat waktu yang tersedia, itu merupakan minggu pertama masuk di semester genap tahun pelajaran 2009/2010, maka tempat kunjungan pun dipangkas, semula Cirebon, Pekalongan, Semarang, Wonosobo, Magelang dan Yogyakarta. Kini menjadi ke Yogyakarta, Wonosobo dan sekitarnya

Rencana berangkat Kamis tgl 7 januari 2010 dan kembali ke Jakarta hari Minggu tanggal 10 januari 2010

14 November 2009

Pengajaran Sejarah mesti menyampaikan "Nilai Kepahlawanan"

Saat anak Betawi ditanyakan tentang tokoh Pergerakan Nasional kelahiran Betawi, mereka akan koor menjawab tidak tahu. Demikian juga dengan anak-anak sekolah di provinsi lain ? mengapa mereka seperti itu ?

14 April 2009

Pilsafat dan Pengajaran Sejarah di SMA

Filsafat Sejarah terbagi menjadi dua, yakni filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah analitik. Untuk yang pertama dikenal sebagai filsafat sejarah spekulatif, yang memiliki dasar peranyaan tentang: “awal, akhir, dan yang menggerakkan sejarah?”. Selanjutnya yang kedua mendasarkan pertanyaan kepada: “apakah sejarah itu, dan untuk apa sejarah itu?”. Artinya, mempersoalkan sejarah sebagai suatu disiplin ilmu, didalamnya terdapat metodologi, metode sejarah, dan nilai-nilai keilmiahan lainnya.
Memperhatikan hal demikian, filsafat sejarah, baik itu spekulatif maupun analitik, harus ditempatkan sebagaimana mestinya. Setidaknya ada tiga hal penting menyangkut hal ini, yaitu filsafat sejarah dapat digunakan untuk menjelaskan mengenai sesuatu yang sangat mendasar dari segi sejarah atau dengan kata lain mencoba dari segi intelektual menjawab pertanyaan: “apakah makna hidup ini?”.
Kedua, menegaskan keterkaitan antara masa sekarang dengan masa lalu, segi kontinuitas ini adalah usaha mempertahankan identitas manusia. Terakhir, ketiga, dalam gejolak atau ketidakpastian, filsafat sejarah menjadi pegangan sebagai sebuah kunci keyakinan. Ini semua merupakan kolaborasi antara filsafat sejarah spekulatif yang cenderung menduga-duga, dan analitik yang ilmiah.
Filsafat sejarah analitis dapat dibedakan dengan filsafat sejarah, namun kedua-duanya berjalan secara beriringan, dan saling mempengaruhi. Dengan demikian, Filsafat sejarah nasional Indonesia merupakan satu kesatuan kedua filsafat tersebut. Sehingga, historiografi sejarah maupun ilmuan sejarah (sejarawan) merupakan produk yang mampu menjadi gagasan keinsafan, sebuah kesadaran sejarah. Sebagai buku, gagasannya menjadi acuan inspirasi bagi yang membacanya, selaku pendidik/guru, sejarawan sebagai percontohan hidup, sekaligus inspirator kepada anak didiknya, yang kesemuanya itu menciptakan mentalitas manusia Indonesia yang luhur.
Kesadaran sejarah ini, adalah sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat membawa untuk tetap dalam rotasi sejarah. Artinya, dengan adanya kesadaran sejarah, manusis Indonesia seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam memaknai kehidupan ini. Dalam realitas yang nyata, pada proses pembelajaran sejarah di SMA, guru dan siswa tidak hanya: “bagaimana belajar sejarah”, “melainkan bagaimana belajar dari sejarah”.

Prinsip pertama, akan membawa anak didik pada setumpuk kisah dan data-data tentang peristiwa sejarah yang telah terjadi di masa lampau yang syarat romantika.
Prinsip kedua akan mengisi jiwa anak didik dengan sikap yang lebih arif dan bijaksana, sebagai hasil bentukan terinti dari kesadaran sejarah. Sikap arif bijaksana tersebut sesuai dengan pesan Surat Yusuf ayat 111 ”... diantara kisah-kisah yang aku sampaikan, terdapat IBROH (pembelajaran) bagi manusia yang mau menggunakan akal-nya..”

Dahri - Salam Historia

01 April 2009

Terjemahan Prasasti Rajaraja Cola (dalam lempengan Tembaga)

Beliau, yakni Rajendracola - 'setelah mengirim banyak kapal di tengah-tengah gelombang laut dan setelah menangkap Samgramawijayotungg awarman, raja Kadaram, bersama dengan gajah-gajah( nya) yang melawan, dan mendatangkan kemenangan, - (mengambil) tumpukan harta benda, yang (raja itu) kumpulkan secara sah, (lengkungan) yang dinamakan Widyadharatorana yang didirikan pada 'gapura' kota pedalamannya yang luas diberikan perlengkapan- perlengkapan perang perajurit; gapura permata dihiasi dengan kemegahan; gapura 'permata-permata besar,' Sri-Wishaya yang makmur; Pannai dengan air mandi (ghat); Malaiyur yang tua (dengan) sebuah benteng bertempat di bukit yang indah; Mayirudingam, dikelilingi oleh laut yang dalam (sebagai) parit; Ilangasogam (yaitu Lankasuka) tak gentar (dalam) peperangan-peperang an dahsyat; Mappapalam yang memiliki air dalam yang berlimpah-limpah sebagai pertahanan; Walaippanduru, yang memiliki (baik) tanah garapan (?) maupun rimba; kota utama Takkolam, dipuji oleh orang-orang besar (yang benar-benar mengetahui dalam) ilmu-ilmu pengetahuan; pulau Madamalingam tempat peperangan-peperang an yang kuat; Ilamuri-desam, memberikan kekuatan yang berlebihan secara ilmu pengetahuan, kebunnya (melimpah dengan) kembang-kembang yang menetes dengan madu; dan Kadiram yang sangat kuat, terlindungi oleh perajurit-perajurit darat yang memakai kalal.
------------ --------- --------- ----
Di antara tempat-tempat yang disebutkan dalam medan pertempuran ini, Sri-Wisaya adalah sama dengan Sri-Wijaya yang diidentifikasikan oleh M. Cedes (Prof.Dr. George Cedes) yang berkedudukan di Palembang, Sumatera. Nakkawaram dan Pappalam sudah diidentifikasikan masing-masing dengan pulau-pulau Nikobar dan sebuah pelabuhan yang bernama Pappalam di Myanmar (Birma). Takkolam dianggap sama sebagai Takopa di bagian barat Semenanjung Melayu, akan tetapi harus diidentifikasikan dengan Kedah di Semenanjung Melayu.

Peninggalan prasasti-prasasti di Sumatera yang belum tergali

(1) Prasasti batu di Pasir Panjang - kira-kira 900 M.


Prasasti ini diketemukan pada sebuah batu di Pasir Panjang di pulau Karimun Besar. Terdiri atas tiga baris tulisan dalam huruf Nagari yang sangat besar pada abad ke-9 atau ke-10 M. Dalam tahun 1873 Dr. K.F. Holle mendengar tentang prasasti ini. Dr. J.L.A. Brandes membaca prasasti seperti berikut: 'Kaki cemerlang Gautama, penganut Mahayana adalah Golayantra di sini.' Dr. R.A. Kern menduga bahwa Gautama dianggap oleh aliran Mahayana sebagai Golayantra (alam semesta).

Akan tetapi Golayantra adalah sebuah alat yang berhubungan dengan ilmu falak, dan naskah itu lebih baik diterjemahkan sebagai berikut - 'Sri Gautamasri, pengikut aliran Mahayana yang patut dimuliakan (pernah) seorang ahli mesin.' Akan tetapi dalam hal itu, diharapkan akan dibaca sebagai Golayantrika. Tetapi tidak ada kesalahan membaca. Keberatan Dr. R.A. Kern bahwa nama Gautama adalah sangat tidak lazim bagi seorang Buddhist tidak berdasar sama sekali. Dalam peraturan-peraturan agama bahasa Palli kita temukan Gautama sebagai seoraang nama seorang biarawati, tetapi di sini barangkali namanya adalah Gautamsari.


(2) Prasasti arca Gunung Tua - Tahun Saka 946.


Prasasti yang dipahat pada alas sebuah arca Awalokitewsara yang terbuat dari perunggu, yang digambarkan dengan empat lengan dan berdiri antara dua Sakti. Semula disimpan di rumah Raja Gunung Tua (Tapanuli Timur) dan pada waktu ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Dr. J.L.A. Brandes untuk pertama kali membaca dan menguraikan dalam Notulen Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 1887, seperti berikut:

Salam.. Dalam tahun Saka 946 hari Jum'at, hari ketiga dari setengah bulan Caitra yang cerah, pada tanggal ini Surya pandai besi utama membangun Dewa Lokanatha. Dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik ini, milik bersama semua mahluk menjadi matang untuk kearifan sempurna tertinggi.'

Tanggal pada prasasti ini tidak tetap. Hari ketiga sekali dua minggu bulan Caitra dalam tahun Saka 946 (1224 M.) jatuh pada hari Minggu (15 Maret). Akana tetapi dalam tahun Saka 947 (1025), bulan Caitra jatuh pada hari Jum'at.


(3) Prasasti Kubur Raja dari Adityawarman. Kira-kira tahun Saka 1300.


Prasasti ini termasuk Pangeran Adityawarman dari Sumatera. Naskahnya ditulis dalam semacam bahasa Sanskrit yang kurang sempurna dan artinya tidak selalu jelas. Prasasti rusak sedikit pada akhir garis enam pertama dan juga pada garis akhir

Upacara Ceng Beng, hari Penghormatan Terhadap Leluhur

Setiap tanggal 4 atau 5 April, menurut tradisi Tionghoa, adalah hari Cheng Beng (Mandarin: Qingming). Di mana menurut tradisi Tionghoa, orang akan beramai-ramai pergi ke tempat pemakaman orang tua atau para leluhurnya untuk melakukan upacara penghormatan. Biasanya upacara penghormatan ini dilakukan dengan
berbagai jenis, misalnya saja membersihkan kuburan, menebarkan kertas sampai dengan membakar kertas yang sering dikenal dengan Gincua (mandarin: Yinzhi=kertas perak).

Cheng beng adalah salah satu dari 24 Jieqi yang ditentukan berdasarkan posisi bumi terhadap matahari. Pada Kalender Gregorian AWAL (bukan akhir!) Cheng beng jatuh pada tanggal 5 April atau 4 April. Bila kita artikan kata Cheng beng, maka Cheng berarti cerah dan Beng artinya terang sehingga bila digabungkan maka Chengbeng berarti terang dan cerah.

Saat Chengbeng ideal untuk berziarah dan membersihkan makam karena cuaca yang bagus (cuaca cerah, langit terang). Apalagi pada jaman dahulu lokasi pemakaman cukup jauh dari tempat pemukiman.
Bahkan bila ada orang yang tinggal jauh dari kampung halamannya, mereka akan berusaha untuk pulang ke kampung halamannya, khusus untuk melakukan upacara penghormatan para luluhur.

SEJARAH CENG BENG

Sejarah Cheng beng dimulai sejak dulu kala dan sulit dilacak kapan dimulainya. Pada dinasti Zhou, awalnya tradisi ini merupakan suatu upacara yang berhubungan dengan musim dan pertanian serta pertanda berakhirnya hawa dingin (bukan cuaca) dan dimulainya hawa panas. Ada sebuah syair yang menggambarkan bagaimana cheng beng itu yaitu: "Sehari sebelum cheng beng tidak ada api" atau yang sering
disebut Hanshijie (han: dingin, shi: makanan, jie: perayaan/festival) .

Hanshijie adalah hari untuk memperingati Jie Zitui yang tewas terbakar di gunung Mianshan. Jin Wengong (raja
muda negara Jin pada periode Chunqiu akhir dinasti Zhou) memerintahkan rakyat untuk tidak menyalakan api
pada hari tewasnya Jie Zitui. Semua makanan dimakan dalam kondisi dingin, sehingga disebut perayaan makanan dingin.

Chengbeng lebih tepat jika dikatakan terjadi pada tengah musim semi. Pertengahan musim semi (Chunfen) sendiri jatuh pada tanggal 21 Maret, sedangkan awal musim panas (Lixia) jatuh pada tanggal 6 Mei.
Sejak jaman dahulu hari cheng beng ini adalah hari untuk menghormati leluhur. Pada dinasti Tang, hari cheng beng ditetapkan sebagai hari wajib untuk para pejabat untuk menghormati para leluhur yang telah meninggal, dengan mengimplementasikan nya berupa membersihkan kuburan para leluhur, sembahyang dan lain-lain.

Di dinasti Tang ini, implementasi hari cheng beng hampir sama dengan kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan. Yang hilang adalah menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan. Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan mengukir kulit
telur.

Permainan layang-layang dilakukan pada saat Chengbeng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang, kondisi angin sangat ideal untuk bermain layang-layang. Sedangkan pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu. Pada dinasti Song (960-1279) dimulai kebiasaan
menggantungkan gambar burung walet yang terbuat tepung dan buah pohon liu di depan pintu. Gambar ini
disebut burung walet Zitui.

Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas panjang di kuburan dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti Ming. Menurut cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu Yuanzhang, kaisar Sendiri dinasti Ming, untuk mencari kuburan ayahnya. Dikarenakan tidak tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk menaruh kertas di batu nisan leluhurnya. Rakyatpun mematuhi perintah tersebut, lalu ia mencari kuburan ayahnya yang batu nisannya tidak ada kertas dan ia menemukannya.

Kenapa pada hari cheng beng itu harus membersihkan kuburan? Itu berkaitan dengan tumbuhnya semak belukar yang dikawatirkan akar-akarnya akan merusak tanah kuburan
tersebut. Juga binatang-binatang akan bersarang di semak tersebut sehingga dapat merusak kuburan itu juga. Dikarenakan saat itu cuaca mulai menghangat, maka hari itu dianggap hari yang cocok untuk membersihkan kuburan. Selain cerita di atas, ada pula tradisi dimana jika orang yang merantau itu ketika pulang pada saat cheng beng, orang itu akan mengambil tanah tempat lahirnya dan menaruh di kantong merah. Ketika orang tersebut tiba lagi di tanah tempat ia merantau, ia akan menorehkan tanah tersebut ke alas kakinya sebagai perlambang bahwa ia tetap menginjak tanah leluhurnya

31 Maret 2009

Prasasti Calcutta ( ttg Raja Airlangga)

Prasasti Erlangga dari Penanggungan.

Prasasti ini yang mula-mula disimpan di Museum Kalkutta di India diketemukan pada batu yang ditulis pada dua sisi. Sudah dapat dipastikan bahwa batu tsb dibawa ke Kalkutta dari Jawa pada zaman Sir Stamford Raffles. Oleh karena ditulis dengan tulisan Jawa Kuno, prasasti itu telah diabaikan di Museum Kalkutta.
Tidak ada seorangpun yang mengira bahwa bahasa dari salah satu prasasti itu adalah bahasa Sansakerta murni, sedangkan yang lainnya adalah dalam bahasa Jawa.

Waktu Dr. K.F. Halle mendengar mengenai batu itu, beliau memperoleh gambar dari dua prasasti itu dan beliau kirim ke Prof. Dr. R.A. Kern. Setelah diuraikan, Kern berpendapat berdasarkan kepada tokoh yang dirayakan pada prasasti ini, prasasti Sankrit ini merupakan suatu catatan sejarah yang sangat penting. Bagian tengah dari prasasti itu sebagian terhapus oleh cuaca dan huruf-hurufnya terlalu kabur.

Terdapat keanehan yang luar biasa bahwa di antara garis-garis terlihat bekas semacam huruf. Di India ada contoh-contoh dimana prasasti diukir pada batu-batu lama. Akan tetapi untuk catatan semacam ini sebagai penghormatan terhadap raja Erlangga, kita tidak mengharapkan dipakainya sebuah batu prasasti yang lama.

Tinggi batu adalah 1.24 meter, dan lebarnya 0.95 di sebelah atas dan 0.86 di sebelah bawah. Prasasti ini terdiri atas 37 garis tulisan. Dengan perkecualian kata S w a s t i pada permulaannya, seluruh prasasti merupakan syair dalam bahasa Sansakerta dan berisi 34 bait dari berbagai matra (irama). Huruf-hurufnya memperlihatkan tulisan tangan yang trampi, dalam bahasa Jawa (Kawi). Konsonannya (huruf mati) kadang-kadang dirangkap sesudahnya dan kadang-kadang tidak. (misalnya, k i r t i atau k i r t t i ; p u r w a atau purwwa). Tidak terdapat a n u s w a r a yang tampak pada batu yang sama dan tanda yang sama telah dipakai untuk o dan ou di tengah-tengah.

Dalam menilai syair-syair yang cukup dapat dipuji pada prasasti ini kita harus ingat bahwa pengarangnya menggubah suatu tulisan berisi puji-pujian (panegyric) terhadap Erlangga (atau Airlangga) dan bukan menulis suatu sejarah. Pengarang menceritakan perbuatan-perbuatan raja dengan cara yang cukup untuk mengingatkan teman-temannya yang hidup sezaman kepada fakta-fakta yang mereka sudah ketahui akan tetapi dianggap tidak cukup untuk generasi yang kemudian. Peristiwa-peristiwa pada zaman pemerintahan Erlangga masih tetap kabur bagi kita. Akan tetapi masih sangat penting dan tidak melebihi nilainya bila dibandingkan dengan catatan-catatan lain yang kita miliki.

Kenangan mengenai Erlangga sudah lama terhapus di antara orang-orang Jawa. Tidak ada satu sejarah pun yang menyebut beliau.. Akan tetapi orang-orang Bali masih mempunyai suatu tradisi bahwa Erlangga memerintah di Kediri dan di bawah pemerintahan beliau kesusasteraan dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) berkembang. Beberapa dari syair-syair dalam bahasa Kawi yang terkenal - Arjuna-wiwaha, Smara-dahana, Sumanas-antaka- digubah pada waktu beliau memerintah.Terjemah an Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno harus pula ditempatkan pada jangka waktu yang sama. Wirataparwan ditulis pada tahun Saka 918 waktu pemerintahan Dharmawansa Anantawikrama (pendahulu Erlangga).

Periode Erlanga sudah dikenal dari salah satu pemberiannya pada tahun Saka 945. Pada dua prasasti ini tidak diceritakan berapa luas kerajaan Erlangga. Akan tetapi tidak bertentangan dengan tradisi Bali bahwa beliau adalah raja Kediri. Prasasti dalam bahasa Sansakerta ini menyebut bahwa beliau sangat dihormati oleh raja Jawa Timur yang memberikan anak perempuannya sebagai mempelai Erlangga. Setelah beliau menghukum musuh-musuhnya di Timur, Selatan dan Barat, beliau dinobatkan sebagai maharaja Yawadwipa pada tahun 957 (1035 M.).

Untuk memperingati peristiwa ini, beliau membangun sebuah pertapaan untuk biarawan-biarawan dekat gung Pugawat yang karena konstruksinya yang sangat bagus menjadi begitu terkenal sehingga orang-orang datang dari tempat-tempat jauh.

Dari prasasti ini kita ketahui bahwa Erlangga dari sisi ibu adalah keturunan Sri-Isanatunga (Sindok), seorang raja Jawa, dan bahwa ibu Erlangga adalah Mahendratta, puteri raja Sri-Makuta-wamsa- wardhana yang ibunya adalah puteri Sri Isanatungaa. Dalam Mpu Sindok (Isanatunga) kita mengenal kakek buyut Erlangga. Tahun Saka 913 sekarang diterima sebagai hari lahir Erlangga. Pada tahun 957 tahun Saka 913 beliau mencapai puncak kejayaan kekuasaan dan kemashuran beliau.

Petualangan raja hanya cukup ditunjukkan dalam prasasti ini tanpa diceritakan secara rinci. Terdapat bagian-bagian deskriptif akan tetapi mengenai hal-hal yang tidaka begitu penting. Hal-hal penting hanya dinyatakan secara sekilas saja. Kemudian pengarang prasasti tampaknya menghindari kata-kata dalam bahasa Jawa. Bahkan nama Erlangga kadang-kadang disansakertakan sebagai Jalalangga atau Niralangga.

E r artinya adalah kata bahasa Jawa untuk air, dan langga artinya 'minum sedikit-sedikit, ' atau 'menyesap.'
Jadi Iralangga artinya adalah 'ia yang minum air, yakni 'ia yang minum air laut.' Apakah hal ini mungkin mengingatkan kepada tradisi Agatya menyesap air laut?

Erlangga adalah putera Udayana (Bali) dan Mahendradatta. Beliau diperlakukan dengan penuh hormat oleh Sri Dharmawamsa, raja Jawa Timur (ayah mertua beliau) dan memperoleh banyak kehormatan waktu beliau mengunjungi ayah mertuanya. Tidak lama kemudian, istana beliau terbakar (menurut Dr. N.J. Krom, bukan ibukota Erlangga akan tetapi ibukota Dharmawamsa) . Dengan beberapa pengikutnya yang setia beliau mencari perlindungan di hutan.

Pada tahun Saka 932 dalam bulan Magha, beliau dimohon dengan sangat oleh para Brahmana agar seluruh negara menyerah. Beliau mengadakan perang dengan pangeran-pangeran tetangganya dan dalam tahun Saka 954 beliau membunuh seorang puteri yang seperti raksasa besarnya.

Dari Selatan beliau kembali dengan barang rampasan. Beliau menggulingkan raja Barat yang bernama Wijaya, dalam bulan Badhra, tahun Saka 957.

Wijaya dibunuh secara curang oleh pasukan-pasukan beliau sendiri, dan dalam bulan Kartika tahun yang sama, Erlangga mengambil gelar maharaja Jawa.

Dalam kesempurnaan sukses, beliau memutuskan untuk membangun sebuah pertapaan dekat gunung Pugawat yang sama kemegahannya dengan istana Indra.

Syair berakhir dengan doa agar pemerintahan Raja dapat terus berlangsung makmur. Pada pinggir batu yang lain adalah gubahan dalam bahasa Kawi yang memberikan kepada kita beberapa pandangan tambahan.

Candi Bahal (di Sumatera)

"Candi adalah salah satu peninggalan sejarah di Indonesia. Di Sumatera Utara, tepatnya di Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) terdapat tiga bangunan candi agama Hindu atau Budha."

"Tiga bangunan candi yang mengandung nilai sejarah dan budaya ini tampak kurang terawat dan memprihatinkan nasibnya. Sepertinya Pemerintah belum atau kurang perhatian untuk pelestarian peninggalan- peninggalan sejarah yang menjadi saksi bisu sejarah peradaban manusia masa lalu."

"Candi Bahal I dengan tingginya lebih kurang lima meter dan relief-relief pada dinding terlihat rindu sentuhan tangan. juga patung stupa di pintu masuk dengan sabar, membisu dan penuh harap menanti pengunjung datang menyapanya atau sekedar melihat tanpa bisa berbuat apa-apa."

"Lain halnya dengan Candi Bahal II dan Candi Bahal III yang letaknya masih di lahan yang sama di desa Bahal, terlihat lebih amburadul. Rumput liar dan lalang yang sudah agak meninggi tampak tumbuh menambah ketidaknyamanan mata memandang bangunan tua yang pasrah pada nasib yang menimpanya ........... "

Mengingatkan kita kepada prasasti arca Awalokitewsara di Gunung Tua (Tapanuli Utara), tahun Saka 946 (1224 M.) yang pertama kali diuraikan oleh Dr. J. Brandes pada tahun 1887, dan sekarang tersimpan di Museum Jakarta. Sedang Candi Bahal letaknya di Tapanuli Selatan. Rupanya di daerah Sumatera Utara masih banyak peninggalan sejarah yang belum memperoleh perhatian pemerintah.

26 Februari 2009

Wacana Seminar Sejarah Kerajaan Sunda

Sejarah kerajaan Sunda masih menjadi kajian yang cukup menarik untuk dipelajari. Masih banyak yang perlu dikai dan diteliti. bagi orang yang tidak dibesarkan dilingkungan jawa barat, pemahaman tentang kerajaan sunda ini begitu minim dan sulit. Padahal pemahaman guru sejarah terhadap semua kerajaan yang ada di Indonesia ini, dimanapu letaknya menjadi sebuah kebutuhan yang tak dapat ditawar.

Masalah utama dari kerajaan yang ada di jawa barat ini adalah begitu minimnya sumber-sumber sejarah yang dapat menjadi rujukan, terutama sumber tertulis yang berasal dari jamannya. kalau toh ada sumber-sumber pendukung, kebanyakan berasal dari jaman yang berbeda jauh setelah peristiwanya.
Sebagai contoh, Kerajaan Tarumanegara berdiri abad 5 - 7 M, sumber yang mendukung itu, seperti naskah wangsakerta, berasal dari abad ke 12-15 M. artinya ada jeda waktu yang cukup lama, antara kejadian dengan waktu penulisan.

Ketika persiapan menuju survey utk acara MGMP Sejarah ke Bogor, tgl 22 Febr 2009 kemarin, tidak sengaja penulis dipertemukan dengan seorang ahli arkeologi, yang berkantor di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan.

Beliau menawarkan ilmu dan dengan senang hati akan datang jika diundang jika para guru sejarah memerlukan informasi keberadaan dan bagaimana keadaan sejarah kerajaan sunda. kebetulan sejarah kerajaan sunda ini menjadi salah satu keahlian beliau. Orangnya sdh berumur, sekitar 55 an, jadi pemahaman dan pengetahuan tenatng dunia arkeologi dan sejarah kerajaan sunda lebih komplit dibandingkan kita para guru sejarah,

Kapan kita bisa mengadakan seminar ya ...

05 Februari 2009

Aktivitas MGMP Sejarah Jakut dalam menyongsong SKM

Sejak digulirkan akan dilaksanakan Sekolah Kategori Mandiri (SKM) secara serentak di beberapa sekolah negeri (SMA N) di wilayah Jakarta Utara, MGMP Sejarah telah mengantisipasi hal tersebut, yakni berupa kegitan penyusunan Modul Pembelajaran Sejarah, sebagai persiapan pelaksanaan SKM.
Antisipasi dan jawaban MGMP ini, melihat pengalaman yang pernah dilakukan Sekolah Percobaan (SMA PP) beberapa dekade waktu yang lalu. Sebagai wadah guru-guru sejarah tentu saja membaca dengan cermat, bahwa pada prinsipnya pelaksanaan SKM mulai tahun 2009 ini, adalah reinkarnasi dari pelaksanaan sistem SKS yang pernah dilaksanakan SMA PP.
Sejarah telah mencatat dengan baik, bahwa SMPA PP yang dalam pelaksanaannya dilapangan dikelola oleh beberapa kampus penyelenggara LPTK (Lembaga Penghasil Tenaga Kependidikan), yakni IKIP( baca sekarang telah menjadi Universitas Negeri) telahberhasil dengan baik menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA dengan kurikulum semodel Perguruan Tinggi, yakni SKS.
Kunci sukses pelaksanaan SKS di SMA atau juga dengan Moving Class-nya, adalah tersedianya seperangkat bahan-bahan belajar bagi siswa berupa Modul Pembelajaran. Dengan Modul Belajar ini, akan banyak mempermudah siswa untuk belajar. Dan juga memfasilitasi para siswa yang mempunyai kemampuan diatas rata-rata, untuk menempuh masa belajar yang jauh lebih singkat. Semakin anak rajin mengikuti Modul demi Modul dalam pembelajaran, maka jarak waktu tempuh belajar siswa semakin cepat.
Belajar dari itu semua, dengan esensi roh jiwa kurikulum SKM yang kiranya tidak jauh berbeda dengan SMA PP, maka pengurus MGMP Sejarah Jakut berinisiatif membuat Modul Pembelajran tersebut.
Pada tahap awal, pembuatan Modul Pembelajaran ini, hanya berlaku untuk kelas X semester 1. Dan, sebagai pedoman pembuatannya, Modul yang disusun tersebut mengacu kepada model Modul yang telah disosialisasikan direktorat Depdiinas, melalui kegiatan MGMP Sejaraj DKI Jakarta di SMA 70 beberapa waktu sebelumnya.
Dengan menyadari bahwa Modul itu tidaklah bisa di susun individu, melainkan mesti dilaksanakan secara bergotong royong, maka MGMP Sejarah Jakarta Utara menindaklajuti dengan mengundang beberapa guru untuk melaksanakan kegiatan di maksud di SMA 52, pada bulan NOvember 2008. Kegiatan Pembuatan Modul Pembelajaran ini dibuka oleh Kepala Sekolah SMAN 52 Jakarta, bapak Drs Syafruddin Yusuf pada bulan November 2008.
Pada kegiatan pembuka ini, berhasil disusun beberapa kelompok kerja, yang akan membahas materi modul berdasarkan KD (Kompetensi Dasar) Silabus Sejarah, yang telah diidentifikasi.
Kerja kelompok ini dilaksanakan di sekolah masing-masing atau bekerjasama dengan beberapa guru sejarah yang lokasinya cukup dekat.
Kegiatan selanjutnya dilaksanakan di SMA N 13 jakut, adalah berupa pengumpulan dan pleno hasil penyusunan Modul per KD.