Prasasti Erlangga dari Penanggungan.
Prasasti ini yang mula-mula disimpan di Museum Kalkutta di India diketemukan pada batu yang ditulis pada dua sisi. Sudah dapat dipastikan bahwa batu tsb dibawa ke Kalkutta dari Jawa pada zaman Sir Stamford Raffles. Oleh karena ditulis dengan tulisan Jawa Kuno, prasasti itu telah diabaikan di Museum Kalkutta.
Tidak ada seorangpun yang mengira bahwa bahasa dari salah satu prasasti itu adalah bahasa Sansakerta murni, sedangkan yang lainnya adalah dalam bahasa Jawa.
Waktu Dr. K.F. Halle mendengar mengenai batu itu, beliau memperoleh gambar dari dua prasasti itu dan beliau kirim ke Prof. Dr. R.A. Kern. Setelah diuraikan, Kern berpendapat berdasarkan kepada tokoh yang dirayakan pada prasasti ini, prasasti Sankrit ini merupakan suatu catatan sejarah yang sangat penting. Bagian tengah dari prasasti itu sebagian terhapus oleh cuaca dan huruf-hurufnya terlalu kabur.
Terdapat keanehan yang luar biasa bahwa di antara garis-garis terlihat bekas semacam huruf. Di India ada contoh-contoh dimana prasasti diukir pada batu-batu lama. Akan tetapi untuk catatan semacam ini sebagai penghormatan terhadap raja Erlangga, kita tidak mengharapkan dipakainya sebuah batu prasasti yang lama.
Tinggi batu adalah 1.24 meter, dan lebarnya 0.95 di sebelah atas dan 0.86 di sebelah bawah. Prasasti ini terdiri atas 37 garis tulisan. Dengan perkecualian kata S w a s t i pada permulaannya, seluruh prasasti merupakan syair dalam bahasa Sansakerta dan berisi 34 bait dari berbagai matra (irama). Huruf-hurufnya memperlihatkan tulisan tangan yang trampi, dalam bahasa Jawa (Kawi). Konsonannya (huruf mati) kadang-kadang dirangkap sesudahnya dan kadang-kadang tidak. (misalnya, k i r t i atau k i r t t i ; p u r w a atau purwwa). Tidak terdapat a n u s w a r a yang tampak pada batu yang sama dan tanda yang sama telah dipakai untuk o dan ou di tengah-tengah.
Dalam menilai syair-syair yang cukup dapat dipuji pada prasasti ini kita harus ingat bahwa pengarangnya menggubah suatu tulisan berisi puji-pujian (panegyric) terhadap Erlangga (atau Airlangga) dan bukan menulis suatu sejarah. Pengarang menceritakan perbuatan-perbuatan raja dengan cara yang cukup untuk mengingatkan teman-temannya yang hidup sezaman kepada fakta-fakta yang mereka sudah ketahui akan tetapi dianggap tidak cukup untuk generasi yang kemudian. Peristiwa-peristiwa pada zaman pemerintahan Erlangga masih tetap kabur bagi kita. Akan tetapi masih sangat penting dan tidak melebihi nilainya bila dibandingkan dengan catatan-catatan lain yang kita miliki.
Kenangan mengenai Erlangga sudah lama terhapus di antara orang-orang Jawa. Tidak ada satu sejarah pun yang menyebut beliau.. Akan tetapi orang-orang Bali masih mempunyai suatu tradisi bahwa Erlangga memerintah di Kediri dan di bawah pemerintahan beliau kesusasteraan dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) berkembang. Beberapa dari syair-syair dalam bahasa Kawi yang terkenal - Arjuna-wiwaha, Smara-dahana, Sumanas-antaka- digubah pada waktu beliau memerintah.Terjemah an Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno harus pula ditempatkan pada jangka waktu yang sama. Wirataparwan ditulis pada tahun Saka 918 waktu pemerintahan Dharmawansa Anantawikrama (pendahulu Erlangga).
Periode Erlanga sudah dikenal dari salah satu pemberiannya pada tahun Saka 945. Pada dua prasasti ini tidak diceritakan berapa luas kerajaan Erlangga. Akan tetapi tidak bertentangan dengan tradisi Bali bahwa beliau adalah raja Kediri. Prasasti dalam bahasa Sansakerta ini menyebut bahwa beliau sangat dihormati oleh raja Jawa Timur yang memberikan anak perempuannya sebagai mempelai Erlangga. Setelah beliau menghukum musuh-musuhnya di Timur, Selatan dan Barat, beliau dinobatkan sebagai maharaja Yawadwipa pada tahun 957 (1035 M.).
Untuk memperingati peristiwa ini, beliau membangun sebuah pertapaan untuk biarawan-biarawan dekat gung Pugawat yang karena konstruksinya yang sangat bagus menjadi begitu terkenal sehingga orang-orang datang dari tempat-tempat jauh.
Dari prasasti ini kita ketahui bahwa Erlangga dari sisi ibu adalah keturunan Sri-Isanatunga (Sindok), seorang raja Jawa, dan bahwa ibu Erlangga adalah Mahendratta, puteri raja Sri-Makuta-wamsa- wardhana yang ibunya adalah puteri Sri Isanatungaa. Dalam Mpu Sindok (Isanatunga) kita mengenal kakek buyut Erlangga. Tahun Saka 913 sekarang diterima sebagai hari lahir Erlangga. Pada tahun 957 tahun Saka 913 beliau mencapai puncak kejayaan kekuasaan dan kemashuran beliau.
Petualangan raja hanya cukup ditunjukkan dalam prasasti ini tanpa diceritakan secara rinci. Terdapat bagian-bagian deskriptif akan tetapi mengenai hal-hal yang tidaka begitu penting. Hal-hal penting hanya dinyatakan secara sekilas saja. Kemudian pengarang prasasti tampaknya menghindari kata-kata dalam bahasa Jawa. Bahkan nama Erlangga kadang-kadang disansakertakan sebagai Jalalangga atau Niralangga.
E r artinya adalah kata bahasa Jawa untuk air, dan langga artinya 'minum sedikit-sedikit, ' atau 'menyesap.'
Jadi Iralangga artinya adalah 'ia yang minum air, yakni 'ia yang minum air laut.' Apakah hal ini mungkin mengingatkan kepada tradisi Agatya menyesap air laut?
Erlangga adalah putera Udayana (Bali) dan Mahendradatta. Beliau diperlakukan dengan penuh hormat oleh Sri Dharmawamsa, raja Jawa Timur (ayah mertua beliau) dan memperoleh banyak kehormatan waktu beliau mengunjungi ayah mertuanya. Tidak lama kemudian, istana beliau terbakar (menurut Dr. N.J. Krom, bukan ibukota Erlangga akan tetapi ibukota Dharmawamsa) . Dengan beberapa pengikutnya yang setia beliau mencari perlindungan di hutan.
Pada tahun Saka 932 dalam bulan Magha, beliau dimohon dengan sangat oleh para Brahmana agar seluruh negara menyerah. Beliau mengadakan perang dengan pangeran-pangeran tetangganya dan dalam tahun Saka 954 beliau membunuh seorang puteri yang seperti raksasa besarnya.
Dari Selatan beliau kembali dengan barang rampasan. Beliau menggulingkan raja Barat yang bernama Wijaya, dalam bulan Badhra, tahun Saka 957.
Wijaya dibunuh secara curang oleh pasukan-pasukan beliau sendiri, dan dalam bulan Kartika tahun yang sama, Erlangga mengambil gelar maharaja Jawa.
Dalam kesempurnaan sukses, beliau memutuskan untuk membangun sebuah pertapaan dekat gunung Pugawat yang sama kemegahannya dengan istana Indra.
Syair berakhir dengan doa agar pemerintahan Raja dapat terus berlangsung makmur. Pada pinggir batu yang lain adalah gubahan dalam bahasa Kawi yang memberikan kepada kita beberapa pandangan tambahan.
31 Maret 2009
Candi Bahal (di Sumatera)
"Candi adalah salah satu peninggalan sejarah di Indonesia. Di Sumatera Utara, tepatnya di Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) terdapat tiga bangunan candi agama Hindu atau Budha."
"Tiga bangunan candi yang mengandung nilai sejarah dan budaya ini tampak kurang terawat dan memprihatinkan nasibnya. Sepertinya Pemerintah belum atau kurang perhatian untuk pelestarian peninggalan- peninggalan sejarah yang menjadi saksi bisu sejarah peradaban manusia masa lalu."
"Candi Bahal I dengan tingginya lebih kurang lima meter dan relief-relief pada dinding terlihat rindu sentuhan tangan. juga patung stupa di pintu masuk dengan sabar, membisu dan penuh harap menanti pengunjung datang menyapanya atau sekedar melihat tanpa bisa berbuat apa-apa."
"Lain halnya dengan Candi Bahal II dan Candi Bahal III yang letaknya masih di lahan yang sama di desa Bahal, terlihat lebih amburadul. Rumput liar dan lalang yang sudah agak meninggi tampak tumbuh menambah ketidaknyamanan mata memandang bangunan tua yang pasrah pada nasib yang menimpanya ........... "
Mengingatkan kita kepada prasasti arca Awalokitewsara di Gunung Tua (Tapanuli Utara), tahun Saka 946 (1224 M.) yang pertama kali diuraikan oleh Dr. J. Brandes pada tahun 1887, dan sekarang tersimpan di Museum Jakarta. Sedang Candi Bahal letaknya di Tapanuli Selatan. Rupanya di daerah Sumatera Utara masih banyak peninggalan sejarah yang belum memperoleh perhatian pemerintah.
"Tiga bangunan candi yang mengandung nilai sejarah dan budaya ini tampak kurang terawat dan memprihatinkan nasibnya. Sepertinya Pemerintah belum atau kurang perhatian untuk pelestarian peninggalan- peninggalan sejarah yang menjadi saksi bisu sejarah peradaban manusia masa lalu."
"Candi Bahal I dengan tingginya lebih kurang lima meter dan relief-relief pada dinding terlihat rindu sentuhan tangan. juga patung stupa di pintu masuk dengan sabar, membisu dan penuh harap menanti pengunjung datang menyapanya atau sekedar melihat tanpa bisa berbuat apa-apa."
"Lain halnya dengan Candi Bahal II dan Candi Bahal III yang letaknya masih di lahan yang sama di desa Bahal, terlihat lebih amburadul. Rumput liar dan lalang yang sudah agak meninggi tampak tumbuh menambah ketidaknyamanan mata memandang bangunan tua yang pasrah pada nasib yang menimpanya ........... "
Mengingatkan kita kepada prasasti arca Awalokitewsara di Gunung Tua (Tapanuli Utara), tahun Saka 946 (1224 M.) yang pertama kali diuraikan oleh Dr. J. Brandes pada tahun 1887, dan sekarang tersimpan di Museum Jakarta. Sedang Candi Bahal letaknya di Tapanuli Selatan. Rupanya di daerah Sumatera Utara masih banyak peninggalan sejarah yang belum memperoleh perhatian pemerintah.
Langganan:
Postingan (Atom)